|
-------------------------------------------------------------------------------
DUA
WANITA CANTIK
Cerpen Jujur Prananto
---------------------------------------------------------------
MENEMUKAN sebatang lipstik di laci meja, mestinya merupakan
kejadian biasa-biasa saja. Apalagi meja itu ada di kamar
seorang
gadis remaja cantik berusia enam-belas tahun. Makin
tak ada yang
pantas dianggap istimewa.
TAPI tidak demikian bagi Yustin. Waktu ia kehilangan
gunting kuku
dan mencari-carinya di segala penjuru rumah, sampai
akhirnya membuka
laci meja kamar anaknya dan secara kebetulan menemukan
lipstik di
situ, Yustin merasakan desir tajam mengusik perasaannya.
Sebuah desir
yang nyaris sama dirasakannya empat tahun lalu ketika
suatu siang
Meta pulang sekolah sebelum waktunya, saat anak itu
masih kelas enam
sekolah dasar.
Dengan nafas terengah-engah, mata sembab dan isak tertahan,
Meta
lari kencang memasuki halaman rumah, dan menghambur
ke dalam sambil
berteriak-teriak memanggil.
"Bunda! Bunda! Perutku luka!"
Yustin terperanjat dan dengan penuh kepanikan bergegas
membuka
baju anaknya, tapi tak dijumpainya setitik pun luka.
"Bukan di situ, bunda. Tapi luka dalam. Ada darah
keluar
membasahi celanaku!"
Saat itu Yustin menghembuskan nafas lega, dan menjelaskan
pada
Meta bahwa anaknya itu mengalami haid untuk yang pertama.
Namun, pada
saat yang sama Yustin merasakan pula desir tajam yang
merisaukan
perasaannya. Dan kerisauan ini kian menjadi-jadi sejalan
dengan terus
berjalannya waktu, justru karena Meta tumbuh begitu
pesat menjadi
gadis remaja, jauh mendahului kawan-kawan seusianya.
Di antara wajah-wajah kekanak-kanakan dan badan-badan
mungil
siswi kelas satu SMP, Meta tampil amat menonjol oleh
tubuhnya yang
begitu semampai, anggun dan mempesona. Sementara teman-teman
wanita
sekelasnya masih berkaus singlet untuk menutupi dadanya
yang baru
mulai tumbuh, Meta sudah harus mengenakan beha layaknya
wanita
dewasa. Sementara yang lain masih menebar "bau
matahari" saat
berpanas-panas berjalan kaki pulang sekolah, Meta sudah
menebar wangi
tubuh yang bisa menggetarkan birahi lelaki.
Bagi Yustin, hari demi hari berlalu tanpa pernah sama-sekali
terbebas dari rasa cemas. Bayangan-bayangan buruk senantiasa
melintas
di benaknya meski cuma sekilas, justru karena ia tahu
persis, betapa
sejenis malapetaka bisa setiap saat menerpa anaknya.
Untuk sementara, bayangan-bayangan buruk itu memang
tinggal
bayangan. Sebab nyatanya, dalam kematangan tubuhnya
Meta tetap tampil
sebagai gadis lugu berwajah polos. Yang bisa tertawa
dan menangis
sebagaimana layaknya remaja seusianya. Sampai ia lulus
SMP. Sampai ia
masuk SMU. Sampai ia berusia enam-belas tahun.
Sampai ibunya menemukan sebatang lipstik di laci meja
di
kamarnya. Ialah sebuah benda yang sang bunda tak pernah
membelikan
untuknya. Yang berarti untuk pertama kali ia mempunyai
inisiatif
sendiri untuk memiliki sesuatu di luar segala macam
kebutuhan pribadi
yang selama ini selalu disediakan atau dipilihkan oleh
bundanya:
baju-yang tak pernah berlengan pendek, rok-yang panjangnya
selalu di
bawah lutut, sepatu, pakaian dalam, bedak, shampo.......
Dan lipstik
tak pernah ada daftar itu!
"DARIMANA
kau dapatkan lipstik ini, Meta?"
"Aku beli sendiri, bunda."
"Kenapa? Untuk apa?"
"Kenapa bunda tanya begitu?"
Giliran Yustin terdiam. Ditatapnya anaknya dari mulai
ujung
rambut sampai ujung kaki. Lalu dirangkulnya. "Bunda
mau bicara
sebentar."
"Tapi Meta sudah mau berangkat sekolah."
"Sepagi ini? Bukankah kau masuk jam setengah satu
siang?"
"Rosanti sakit. Ia tak bisa datang menjemput. Aku
harus berangkat
naik bis kota."
"Biar bunda nanti antar kau naik taksi."
"Tak usah, bunda. Ongkos taksi ke sekolah tak kurang
dari
tigapuluh ribu."
"Omongan bunda kali ini akan jauh lebih berharga
dibanding uang
tigapuluh juta sekali pun."
Meta terdiam. Ia tak kuasa menolak saat ibunya membimbingnya
masuk kamar. Dan membawanya menghadap cermin besar yang
menempel di
pintu almari. Hingga nampaklah di sana dua wajah wanita
cantik yang
berbeda usia dan gaya. Yang satu begitu remaja dengan
tata-rambut
yang mencitrakan kemasa-kinian yang begitu dinamis,
satu lagi adalah
wajah penuh kematangan dan tempaan pengalaman hidup,
yang sebagian
rapat terlindung di balik kerudung berbordir putih bersih.
"Perhatikan bibirmu secara saksama, Meta."
"Bibir saya kenapa, bunda?"
"Kaulihat kulitnya yang cokelat tua kemerahan?
Kaulihat bentuk
tepiannya yang melengkung indah itu? Lalu coba sentuh
dengan
tanganmu. Bisa kaurasakan kelembutan kulitnya? Bisa
kaurasakan
kekenyalan daging di dalamnya?"
"Lalu kenapa, bunda?"
"Kau dikaruniai bibir yang sangat indah, Meta.
Sedemiki-an indah
hingga kau tak perlu menambah apa pun untuk memperindahnya."
"Tapi..."
"Kau pasti ingin mengatakan bahwa memperindah yang
sudah indah
itu bukan tindakan yang salah."
Meta mengiyakan dengan cara terdiam.
"Mungkin kau benar. Tapi sekarang cobalah buka
pakaianmu."
"Apa, bunda...??"
"Jangan bertanya dulu buat apa. Buka saja dulu
pakaianmu.
Semuanya."
Dengan perasaan berdebar dan bertanya-tanya Meta membuka
seluruh
pakaiannya. Yustin pun mengamatinya tanpa berkedip.
Lalu menghela
nafas panjang serta menggu-mamkan nama Tuhan.
"Kenapa, bunda?"
"Mestinya kau patut bersyukur atas karunia keindahan
ini..."
"Kenapa 'mestinya' ?"
"Karena keindahan ini sekaligus bisa jadi beban
berat buat kamu."
"Meta tak tahu apa maksud bunda."
"Kau pasti pernah merasakan, atau sering merasakan,
atau
senantiasa merasakan, betapa setiap pria yang kaujumpai
akan
menyempatkan diri untuk-paling tidak-sekedar memandangmu.
Lewat
pandangan itu dia bisa mengagumimu, memujimu, atau lebih
dari itu :
berhasrat ingin menyayangimu, menyentuhmu, membelaimu,
memelukmu...atau..."
"Jangan berpikir sejauh itu, bunda!"
"Bunda tidak berpikir terlalu jauh, Meta. Ini bisa
begitu saja
terjadi atas diri kamu. Kapan pun."
"Lalu menurut bunda aku harus bagaimana?"
Yustin terdiam beberapa saat. Dipeluknya anaknya erat-erat
sambil
matanya tetap memandang ke cermin. Mengamati anaknya
sekaligus
dirinya. Membandingkan dua wajah cantik itu dengan berbagai
macam
perasaan. Dengan berbagai kecemasan.
"Waktu kecil bunda pernah punya tetangga bernama
Amsar. Badannya
besar dan kekar. Penampilan fisiknya ini membuat orang-orang
jadi
takut padanya, hingga yang pada mulanya ia hidup biasa-biasa
saja
sebagai layaknya pemuda desa, oleh sikap orang-orang
di sekitarnya
ini ia justru berubah, setelah ia berangsur-angsur sadar
dirinya
ditakuti orang. Lama-lama ia mulai menikmati rasa takut
orang-orang
ini. Dan ini membuatnya jumawa."
"Lalu......maksud bunda?"
"Kau pasti tahu maksudku, Meta."
"Bunda khawatir....aku dimanjakan oleh kecantikanku
sendiri?"
Yustin makin erat memeluk anaknya. Matanya terpejam.
Pipinya
membasah.
"Kenapa bunda menangis?"
"Bunda cuma khawatir, nak. Bunda cuma khawatir...."
MEMANG cuma sejauh itu yang bisa terucap dari mulut
Yustin. Tak
mungkin ia menjelaskan kenapa kekhawatiran itu senantiasa
muncul
dalam dirinya. Tak mungkin ia bercerita, bahwa saat
melihat tubuh
telanjang anaknya, ia melihat sosok dirinya duapuluh
lima tahun yang
lalu: Yustin yang cantik, yang setiap hari mendengar
decak kagum,
siutan panjang, panggilan mesra, pujian, serta rayuan
dari para pria
yang berlomba-lomba mendapatkannya.
Dan Yustina tak kuat bertahan, sebab segala rupa sanjungan
itu
lama-lama sangat dinikmatinya. Sangat disadarinya memiliki
kekuatan
luar-biasa yang tidak selalu dimiliki oleh wanita lain.
Ialah
kekuatan untuk mendapatkan sesuatu dengan cara sangat
gampang.
Sampai suatu saat seorang lelaki berucap padanya, "Wanita
secantik kamu tak perlu bekerja. Tinggalah di rumah
yang kau boleh
pilih sendiri yang kau suka. Bepergianlah ke mana pun
ingin kautuju,
dengan mobil yang boleh kau pilih sesukamu pula. Berbelanjalah
apa
pun yang ingin kau miliki, dan gunakanlah kartu debet
atas-namamu
yang tak perlu kau pikirkan pengisian dananya. Yang
penting kau
senantiasa ada di rumah untuk menyambutku setiap aku
datang ke
rumahmu."
Dan Yustin tak kuat untuk menolak.
"Cuma ada satu syarat yang harus kau taati: Jangan
ganggu istri
dan anak-anakku."
Dan Yustin tak kuasa untuk menggugat.
Juga ketika lelaki itu sekian tahun kemudian menghilang
tanpa
kabar. Ketika tiba-tiba kartu debetnya ditolak kasir.
Ketika tiba-
tiba datang sekelompok orang yang mengaku rumah tempat-tinggalnya
sebagai milik mereka. Ketika tiba-tiba ia sadar bahwa
bayi dalam
kandungannya kelak secara hukum tak akan pernah berayah.
Dan Yustin tak mungkin bercerita, bahwa bayi itu kelak
diberinya
nama Meta.
META sesaat mengamati lipstik yang ditemukan ibunya
dan menghela
nafas panjang. "Kenapa aku begitu ceroboh menaruhnya
di sini?"
pikirnya. Ia pun buru-buru membuka almari, mengambil
sebuah tas yang
tersimpan di bawah tumpukan baju, dan memasukkan lipstik
itu ke
dalamnya, menyatukannya dengan kelengkapan rias berikut
asesori
lainnya: lipgloss, eyeshadow, eyeliner, blush-on, maskara,
giwang,
anting, kalung, gelang, stiker tattoo dan pernik-pernik
lainnya. Lalu
Meta cepat-cepat memasukkan tas kulit itu ke dalam ransel
berbahan
parasit yang biasa dipakainya ke sekolah.
Ketukan pintu membuatnya kaget. "Ya, bunda?"
"Sudah siap kau berangkat?"
Wajah Meta seketika menegang. "Tapi bunda tidak
jadi mengantarku
ke sekolah naik taksi, kan?"
"Kenapa? Hilang limapuluh ribu pun kali ini bunda
tak merasa
rugi."
Sekonyong-konyong terdengar suara getar di permukaan
meja kaca.
Meta bergegas mengambil handphone yang tersembunyi di
balik tumpukan
bukunya. Ada nama seorang pria tertayang di layar. Dengan
tangan
gemetar Meta memencet tombol terima, dan bicara dengan
suara selirih-
lirihnya. "Halo...?"
"Meta??? Kamu di mana sih dari tadi aku nelpon
nggak diangkat-
angkat? Tadi hampir sejam aku tunggu di lobby kamunya
nggak datang-
datang. Sekarang aku sudah di kamar. Kamar 501. Kalau
nanti kamu
datang aku pas keluar, minta aja kunci ke resepsionis.
Entar aku
bilang ke resepsionis kalau kamu mau datang. Oke, ya?"
"Sebentar, oom...!"
Tapi telepon di seberang sana sudah terputus. Dan yang
terdengar
kemudian ialah suara ibunya yang nampaknya berdiri persis
di depan
pintu di luar kamar.
"Kau bicara sama siapa, Meta?"
Jakarta,
11 Desember 2002
back to top |
|