"QUO VADIS"
PLANET BUMI
Oleh Ivan A. Hadar
KONFERENSI internasional
amat penting tahun 1992, suatu
konferensi tentang "ekologi dan pembangunan" yang
disponsori
oleh PBB (UNCED/United Nations Conferece on Environment and
Development), direncanakan berlangsung pada 3 Juni tahun ini
di Rio De Janeiro, Brazil. Konferensi ini diramalkan bakal diwarnai
oleh kemelut kepentingan Utara-Selatan. Setelah empat kali
pertemuan persiapan, tampaknya jurang yang memisahkan berbagai
kepentingan masih menganga. Bahkan yang pesimis melansir, bahwa
jurang itu semakin dalam. Kedua pihak mengambil sikap konfrontatif,
sehingga mengingatkan kita pada ungkapan sinis Churchill tahun
'20- an dulu: "Keberhasilan terbesar konferensi perlucutan
senjata adalah, bila ia berakhir, tanpa melahirkan perang baru."
Padahal dua dekade setelah Konferensi Stockholm yang melahirkan
kesepakatan perlindungan lingkungan hidup sebagai kewajiban
politis setiap negara, konferensi Rio nanti diharapkan mampu
menjadikan pelestarian alam sebagai pedoman internasional. Intaian
berbagai bahaya akibat kerusakan lingkungan bagi planet bumi
memang telah
memaksa umat manusia untuk tidak saja berpikir global, tetapi
juga bertindak global. Itulah yang diharapkan, terutama, oleh
negara-negara kaya di belahan Utara dunia dari konferensi Rio,
meskipun hal ini tidak selalu sejalan dengan apa yang menjadi
permasalahan utama negara- negara Selatan yang miskin. Ada kecemasan,
bahwa konferensi di Rio itu nanti adalah "rantai"
terbaru negara-negara kaya untuk memasung pihak Selatan. Bisa
dimengerti bila Selatan lebih tertarik mengubah motto konferensi
menjadi "ekologi atau pembangunan" ketimbang "ekologi
dan pembangunan". Rio de Janeiro tampaknya bakal menjadi
ajang konfrontasi kepentingan Utara dan Selatan, meskipun tak
ada pihak yang bersedia menjadi "kambing hitam" kegagalan
konferensi. Sehingga, Rio diramal akan membuahkan berbagai komunike
kompromistik, yang bisa ditafsirkan sesuai dengan kepentingan
serta sama sekali tak mengikat.
***
PERKEMBANGAN ini mulai tampak dua tahun lalu. Sejak itu, bila
Utara berbicara tentang lingkungan hidup, maka pokok
pembicaraannya bertumpu pada perlindungan iklim. Tetapi, ini
berarti pembatasan bagi Selatan, misalnya pembatasan penebangan
hutan hujan tropis yang menjadi salah satu sumber devisa. Sementara
itu Selatan menginginkan pembicaraan difokuskan pada teman pembangunan.
Padahal bagi Utara, istilah ini telah merosot popularitasnya,
berbarengan dengan kegagalan tiga dasawarsa pembangunan. Negara-negara
berkembang (Selatan) secara terbuka menuntut, agar Utara yang
kaya menanggung biaya pelestarian lingkungan di Selatan, tanpa
syarat. Tetapi, cash for green seperti yang dituntut Selatan
ini,
ditolak oleh Utara dengan mengajukan bukti kegagalan bantuan
keuangan selama ini. Sebaliknya, sikap Utara ini tidak bisa
dimengerti Selatan, mengingat pertama, 80 persen pencemaran
atmosfer adalah karena ulah pihak Utara. Dan kedua, Selatan
tidak bakal menyetujui kesepakatan perlindungan ekologi, bila
hal tersebut membuatnya semakin melarat dan terbelakang. Karena,
demi menunjang proses industrialisasi, Selatan mau tak mau harus
meningkatkan pemakaian bahan bakar (unrenewable energy), yang
berarti peningkatan produksi gas CO2. Artinya, bila target konsentrasi
gas ini di atmosfer hingga tahun 2000 tidak bertambah, Utara-lah
yang harus menurunkan kadar produksinya, dengan mengurangi penggunaan
energi. Toh konsentrasi praktisnya, yang bermuara pada pengurangan
konsentrasi gas CO2 di atmosfer secara bertahap sebesar dua
pertiga kadar saat ini, bakal tidak disetujui oleh AS sebagai
negara pemakai
energi terbesar, yang dalam hal ini berkoalisi dengan Arab Saudi,
negara Selatan yang berkepentingan menjual minyak dalam kapasitas
besar. Mengamati polarisasi kepentingan itu, bahkan mereka yang
optimis sekalipun agak ragu, bahwa konferensi Rio akan menghasilkan
kesepakatan yang berfundamen kuat. Meskipun, secara ekologis,
permasalahan telah semakin mendesak. Tetapi, secara politis
konferensi Rio rupayanya belum cukup matang untuk membuahkan
kesepakatan mengenai pelestarian lingkungan global yang mengikat
semua pihak.
***
PADA prinsipnya, pertentangan Utara-Selatan tersebut berkisar
pada persoalan distribusi kue pembangunan global. Setiap peningkatan
pembangunan di Selatan berarti peningkatan penggunaan energi,
sementara di Utara, kesediaan untuk mengurangi laju pertumbuhan
pembangunan belum terlihat. Distribusi memang erat kaitannya
dengan egoisme pihak Utara. Tapi, bukan hanya itu, karena cukup
banyak kebijakan pelestarian lingkungan hidup negara-negara
berkembang
yang bersifat tambal sulam. Teori seringkali jauh berbeda dari
praktis. Sangat sedikit alasan untuk optimis, bahwa hutan hujan
tropis di Brasil misalnya, bakal lestari. Karena, UU Landreform
negeri samba ini lebih bersifat pajangan ketimbang diupayakan
pelaksanaannya (Die Zeit, 2-3 Januari 1992, hal. 7). Ekologi
memang erat kaitannya dengan ekonomi. Meskipun lugas
benar, pernyataan ini secara politis masih merupakan masalah.
Pertanyaannya kini, apakah polarisasi kepentingan Utara-Selatan
itu mampu membuahkan kesepakatan minimal bagi saling pengertian
tentang distribusi hak penggunaan ekologi dan keuntungan ekonomi?
Di belakang layar, negosiasi tentang hal tersebut sedang giat
dilakukan. Secara garis besar ada dua kemungkinan kesepakatan.
Di satu pihak, Utara mengakui tanggung jawabnya bagi -- dampak
global -- pembangunan di Selatan. Karena itu, secara sukarela
Utara meredusir
penggunaan energi dan bahan baku serta "membantu"
pembiayaan pembangunan di Selatan, dengan mensyaratkan pelestarian
alam sebagai tujuan pembangunan yang sama pentingnya denganperbaikan
sosial- ekonomi. Di pihak lain, Selatan mengakui, bahwa di samping
haknya untuk melakukan pembangunan, ada pula tanggung jawab
globalnya berupa
upaya reformasi model pembangunan, sehingga ramah lingkungan.
Dengan begitu, semua pihak akan puas. Utara dengan halus akan
mengatakan, bahwa dengan kesepakatan tersebut, Selatan tidak
lagi menuntut "tatanan ekonomi global" baru. Dan Selatan,
dengan suara yang juga tidak nyaring, akan mengingatkan Utara,
bahwa "kejanggalan" ekonomi global, seperti yang dituntut
Selatan dalam Putaran Uruguay/GATT, agar dihilangkan. Bagi Utara,
kesepakatan itu dinilai berhasil mengikat "Dunia Ketiga"
dalam sistem perdagangan dan moneter ekonomi dunia yang ada.
Dan Selatan yang miskin akan puas, bahwa tuntutan dan kebutuhannya
terpenuhi. Tetapi, apakah kesepakatan demikian berdampak positif
bagi ekologi dan ekonomi, dan apakah tuntutan reformasi model
pembangunan yang terkandung dalam kesepakatan itu akan dilaksanakan,
hanya sejarahlah yang akan mencatatnya kelak. Orang boleh ragu,
karena kesepakatan itu bersifat sukarela. Cina dan India misalnya,
dengan lantang mengatakan tidak akan mau "diikat"
kewajiban sekecil apa pun.
dan di Utara, jepang sibuk kampanye, bahwa jalan industrialisasi
yang ditempuhnya -- yang memang harus diakui relatif ramah terhadap
lingkungan dalam negeri Jepang -- adalah sebagai model terbaik,
tanpa menghitung biaya ekologi bagi lingkungan hidup global,
akibat besarnya penggunaan energi dan bahan baku.
***
KONFERENSI raksasa di Rio
de Janeiro itu akan berlangsung
selama 5 minggu, dan sejak awal Maret lalu persiapan terakhir
menyongsong konferensi Rio dilakukan di New York. Cukup waktu
untuk mempersiapkan rumusan komunike yang menyenangkan semua
pihak. Tetapi, rasanya terlalu singkat untuk merumuskan
blueprint berupa reformasi model pembangunan berwawasan lingkungan,
sebagai bukti tentang itikad umat manusia untuk membanting stir
dari model pembangunan yang memperbudak alam. Yang optimis mengharapkan
sebuah earth charta hasil Konferensi Rio berupa rumusan hak
dan kewajiban manusia untuk melestarikan "masa depan bersama".
Apalagi bila dalam konferensi ini, negara- negara industri kaya
menyetujui ide untuk melakukan restrukturisasi sistem ekonominya,
ungkap Michael Oppenheimer, pakar ekologi dari Environmental
Defense Funds. Dan ia optimis, karena "ada tanda- tanda,
bahwa pejabat tinggi negara industri -- dan yang menggembirakan
juga Bush Administration pasca John Sanunu -- mulai berpikir
ekologis."
Indonesia yang menyandang predikat sebagai negara Selatan dan
produsen minyak serta kaya dengan hutan hujan tropis, dapat
berperan penting dalam konferensi ini.
* Ivan A. Hadar, pengamat
masalah internasional, tinggal di Berlin
back to top