Ketika Angkringan
Melawan MacDonald
Akhir Februari silam, Selasa (24/2), bertempat di hall basket
Gelanggang Mahasiswa UGM, berlangsung peluncuran jurnal Balairung
No. 37, Burjo dan Kekuatan Sektor Informal. Acara yang bertajuk
“Angkringan versus McDonaldisasi” itu membedah kisah lusuh lama:
terpukulnya ekonomi kerakyatan oleh neoliberalisme. Hadir sebagai
pembicara, Sri-Edi Swasono, Arif Mundayat, dan Revrisond Baswir.
“Lesehan malam” yang sarat dengan nuansa budaya itu dimoderatori
Satria Nugraha dari radio Trijaya FM.
“Berkat pakem-pakem ekonomi Barat yang tak sesuai dengan kondisi
filsafat hidup Indonesia, pembangunan cuma menggusur orang miskin,
bukan kemiskinan itu sendiri!”, kata Sri-Edi Swasono, disambut
dengan gemuruh tepuk dan sorak hadirin. Guru Besar Fakultas
Ekonomi UI itu menyodorkan potret buram penggusuran dan kekerasan
yang dialami masyarakat sektor informal, utamanya kaki lima
macam angkringan, sebagai buktinya.
Nasib tragis sektor informal selama ini, demikian Revrisond,
menegaskan bahwa struktur ekonomi warisan kolonial—yang memihak
modal dan menindas rakyat—masih bercokol di Indonesia. Itu artinya,
secara hakikat Indonesia belumlah merdeka. “Jadi kita harus
sama-sama menghayati bahwa yang namanya terjajah, itu pertama
dan utama adalah fenomena ekonomi”, tegas dosen Fakultas Ekonomi
UGM, ini.
Merasuknya neoliberalisme hingga ke sumsum tulang pengambil
kebijakan, bagi dua ekonom tersebut, tak lepas dari andil pendidikan
ilmu ekonomi di perguruan tinggi. “Tahun 1958, 1959, 1960, dan
1962, dosen-dosen dari FE UI dan UGM berangkat ke Amerika atas
beasiswa dari Amerika. Pak Widjoyo, Pak Emil, dan yang lainnya,
lalu naik ke pemerintahan sebagai menteri pasca peristiwa 1965”,
papar Revrisond tentang cikal bakal politik ekonomi neoliberal
di Indonesia. Ia mengingatkan bahwa intervensi di bidang pendidikan
merupakan strategi penting neoliberalisme.
Berbeda dengan Sri-Edi dan Revrisond, Arif Mundayat, staf pengajar
Antropologi UGM, memilih posisi netral terhadap neoliberal.
“Ini saya lakukan biar terjadi diskusi di forum”, katanya. Namun
forum tetap mengarah pada satu titik: “tolak neoliberal!”
Arif sendiri tak urung mengkritik konsepsi masyarakat sipil
ala neoliberalisme yang memudarkan peran negara. Malahan, ia
mengingatkan bahwa di era reformasi ini gagasan neoliberalisme
lihai menyusup ke dalam agenda-agenda pemberdayaan masyarakat
sipil.
Launching dan diskusi yang disaksikan sekitar dua ratus-an
orang, kian meriah oleh pertunjukan seni dari Serikat Pengamen
Indonesia dan Kethoprak Lesung Teater Gadjah Mada. Baik para
pembicara maupun seniman mendapatkan apresiasi penuh dari hadirin.
Namun, ‘bintang forum’ malam itu tetap Sri-Edi Swasono. Menantu
Proklamator Bung Hatta tersebut bahkan sempat membacakan puisi.
“Puisi ini saya bikin tepat di tengah insiden penggusuran di
Jakarta tempo hari,” ujarnya. Wah, mau menyaingi Taufik Isamail
ya? [Harie]
* Sumber tulisan majalah Flamma edisi Mei-Juni 2004, Nomor 19/
Volume9.
back to
top