BUMI INI MILIK SIAPA
Pengantar Redaksi
PADA tanggal 3-14 Juni 1992, di Rio de Janeiro, Brasil, akan
berlangsung KTT Bumi, Konferensi PBB untuk Lingkungan dan
Pambangunan (UNCED). Konferensi yang juga menandai 20 tahun
Gerakan Lingkungan Hidup ini merupakan yang terbesar sepanjang
sejarah PBB, sekaligus merupakan saat paling tepat
untuk meninjau kembali pembangunan ekonomi selama ini dalam
kaitannya dengan kondisi lingkungan global. Wartawan Kompas,
Maria Hartiningsih, yang kini berada di Rio de Janeiro men-
coba memberikan gambaran lebih jauh mengenai latar belakang
permasalahan dan proses terselenggaranya KTT Bumi dalam dua
tulisan di bawah ini.
BUMI dan dunia tidaklah sama. Bumi tempat manusia
meng-
gantungkan kehidupannya, adalah satu. Semua manusia bergan-
tung pada satu biosfer untuk kelanjutan hidupnya, tetapi
dunia terdiri dari berbagai negara dengan berbagai jenis ras
dan etnis, berbagai jenis karakter dan berbagai tingkat kua-
litas hidup, bergantung pada berbagai tingkat kemampuan sum-
berdaya manusia dan sumberdaya alamnya.
Setiap masyarakat, setiap negara, sesuai hukum kehidup-
an, berjuang bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraannya
yang dalam banyak hal sering tidak mengacuhkan pengaruhnya
terhadap bangsa dan negara yang lain. Sebagian menggunakan
sumberdaya Bumi sebanyak-banyaknya pada masa sekarang, tanpa
kesadaran menyisakannya pada generasi mendatang. Sebagian
yang lain, yang jumlah manusianya jauh lebih banyak, harus
hidup dalam bayangan kemiskinan, kelaparan, penyakit dan
kematian yang terlalu cepat.
Akar kemiskinan tercermin dari tidak seimbangnya distri-
busi makanan, tanah dan modal. Hal ini telah membuat banyak
bangsa terperangkap pada lingkaran setan. Negara berkembang
secara berlanjut masih harus menerima akibat dari kolonia-
lisme, di mana sejumlah sumberdaya dan kekayaan nasionalnya
terpaksa dipindahkan ke negara industri di Utara untuk mem-
bayar utang. Mereka bahkan terpaksa harus menguras sumberdaya
alamnya secara berlebihan demi kelangsungan hidup sehari-
hari. Pemiskinan lingkungan membuat mereka terjerembab ke
da lam jurang kemiskinan yang lebih dalam, yang membuat kelangsungan
hidup lebih sulit dipertahankan. Kesejahteraan masyarakat
dunia merupakan sesuatu yang semu karena praktek perdagangan
internasional yang tidak adil membuat mereka menghasilkan
keuntungan dan kemajuan hanya untuk jangka waktu yang teramat
pendek. Meski banyak kemajuan telah dicapai, toh harus diakui
terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial yang menyebabkan
kualitas kehidupan sangat tidak seimbang. Keadaan dunia sekarang
terperangkap pada dua kutub dengan perbedaan yang teramat
tajam : kaya dan miskin, kelaparan dan kelebihan pangan, kekuatan
adidaya dan ketidakberdayaan.
***
PENDUDUK dunia saat ini telah meningkat tiga kali lebih besar
dari awal abad ke-20. Pada saat bersamaan, produk kotor dunia
meningkat 21 kali, konsumsi bahan bakar fosil meningkat 30
kali dan produksi industri meningkat 50 kali. Kekayaan ekonomi
yang meningkat secara mengesankan itu tidak memberikan pemerataan
bagi semua bangsa. Rata-rata pendapatan sekitar satu milyar
penduduk negara kaya, sedikitnya 20 kali lebih tinggi dari
lebih tiga milyar penduduk negara miskin dan 450 juta di antaranya
menghuni daerah pertanian yang tidak subur, 450 juta lagi
menghuni daerah tanah longsor, banjir, degradasi tanah, dan
bencana lain, 100 juta lagi menghuni daerah-daerah kumuh.
Sebagian besar negara di dunia ketiga saat ini menghadapi
krisis sosial dan ekonomi. Pembangunan yang terjadi sejak
tahun 1980-an telah meningkatkan kondisi ekonomi mereka, tapi
juga menyisakan sekian masalah dan negara-negara miskin menghadapi
ancaman penurunan tingkat perluasan produksi. Di Afrika, pendapatan
per kapita menurun 12 pada tahun 1989 di banding tahun 1980,
meskipun sebenarnya rata-rata penurunan itu menyembunyikan
tingkat penurunan yang lebih besar pada beberapa negara. Uganda
misalnya, mengalami penurunan pendapatan per kapita sebesar
28 persen, Nigeria 24 persen dan Zambia 20 persen. Pada tahun
1990, GNP negara-negara Amerika Latin dan Karibia turun 9,6
persen, dan Amerika Tengah turun 17,2 persen. Dalam kurun
waktu itu, Amerika Latin dan Karibia mengalihkan 212 milyar
Dollar AS kepada negara-negara maju yang memberinya utang.
Pembayaran utang ini sebenarnya mencerminkan dimensi kritis
dari hubungan ketergantungan yang semakin dalam. Sementara
jumlah orang miskin di Amerika Latin meningkat 40 juta, mewakili
43 persen populasi pada tahun 1986. Pengukuran yang lebih
integral pada tahun 1990 menunjukkan, kemiskinan telah memberikan
dampak pada 62 persen populasi di Amerika Latin dan Karibia.
Ketidakseimbangan Utara-Selatan saat ini menjadi semakin jelas,
ditandai dengan tata perekonomian internasional yang, tidak
seimbang. Negara maju mengekspor limbah beracunnya ke negara
berkembang sebagai penukar pembayaran utang dan bunganya.
Antara tahun 1984-1989, diperkirakan 180 milyar Dollar AS
uang negara berkembang melayang ke negara maju hanya untuk
membayar bunga utang. Saat ini utang negara berkembang mencapai
1,3 trilyun Dollar AS. Kondisi ini menyebabkan pada beberapa
wilayah dan negara, jumlah pendapatan per kapita menurun sampai
ke tingkat seperti 20-30 tahun lalu, ditandai dengan pemiskinan
di tingkat sosial, lingkungan dan implikasi kemanusiaan. Pada
saat yang bersamaan, kondisi lingkungan di seluruh dunia,
baik di tingkat lokal regional maupun global berada dalam
kondisi krisis, sebagai akibat eksploitasi besar-besaran untuk
pembangunan. Kondisi ini melahirkan kesadaran pada berbagai
isu kritik lingkungan : perubahan atmosferik, polusi air,
eksploitasi yang tidak berkelanjutan dari sumberdaya terbaharui,
deforestasi, erosi dan hilangnya keanekaragaman biologi telah
meluas memasuki lingkup akademik dan menjadi perdebatan umum.
***
Manifestasi global dari krisis lingkungan adalah apa yang
disebut dengan "efek rumah kaca", salah satu ancaman
terhadap sistem pendukung kehidupan, merupakan akibat langsung
penggunaan sumberdaya yang meningkat. Pembakaran bahan bakar
fosil dan biomassa, melepaskan karbon dioksida (C02) yang
terakumulasi dan menetap di udara sampai ratusan tahun. Bersama
gas-gas lainnya, seperti methane, menjadi semacam selimut
yang menutupi atmosfer bumi, menghambat pemantulan panas matahari
dari permukaan Bumi kembali ke angkasa luar. Berbagai skenario
sudah dicoba untuk menduga apa yang terjadi sebagai dampak
dari Bumi yang makin panas itu. Sudah diperhitungkan antara
lain bahwa suhu Bumi akan meningkat rata-rata sebanyak dua
derajat Celcius sampai pertengahan abad ke-21 dan sampai 5
derajat pada akhir abad ke-21, jika penumpukan berbagai gas
di udara terus meningkat. Kenaikan suhu dua derajat saja akan
menimbulkan berbagai dampak yang serius terhadap lingkungan
hidup manusia di Bumi. Paling tidak jumlah es pada kedua kutub
Bumi akan berkurang sehingga jumlah air laut bertambah. Ada
yang memperkirakan peningkatan suhu satu derajad akan meningkatkan
permukaan air laut sampai sekitar satu meter akibat mencairnya
sebagian es di kedua kutub Bumi itu.
Dari sini banyak hal bisa diduga. Misalnya, jumlah daratan
akan berkurang dengan berbagai dampaknya terhadap pembatasan
negara-negara di dunia. Banyak pulau yang sekarang masih tertera
pada peta bumi, akan lenyap dalam dua atau tiga dasawarsa
mendatang. Semua perjanjian internasional baik bilateral mau
pun multilateral, menyangkut batas-batas teritorial atau batas
zona ekonomi eksklusif akan terpaksa harus direvisi. Meningkatnya
suhu bumi yang diikuti naiknya permukaan air laut sudah pasti
akan mempengaruhi cuaca dan musim. Yang belum bisa dipastikan
karena memang belum ada pengalaman empiris untuk bahan perbandingan
adalah bagaimana pola itu akan berubah. Sehingga ramalan cuaca
yang selama ini didasarkan pada statistik empiris -- dan itu
pun belum bisa dipastikan kebenarannya -- akan semakin sulit
diandalkan dalam dekade mendatang. Tapi sejarah bumi mencatat
pengalaman pahit dari perubahan suhu, meski pengalaman-pengalaman
itu hanyalah berlaku untuk sebagian permukaan Bumi. Catatan
sejarah menunjukkan betapa tahun 1816 tidak berlangsung musim
panas di Kawasan Eropa dan wilayah New England di AS. Dalam
bulan Juni-Juli yang mestinya musim panas di kawasan tersebut,
suhu justru menurun sampai titik beku. Panen hancur dan ekonomi
masyarakat yang hidup di wilayah itu berantakan. Kemudian
ternyata kemerosotan suhu itu disebabkan letusan Gunung Tambora
di Indonesia tahun 1815. Letusan itu sangat hebat, sampai
menimbulkan korban 12.000 jiwa di Pulau Sumbawa dan sekitarnya.
Tanpa disadari,muntahan vulkanik itu rupanya di atmosfer dalam
jumlah cukup banyak untuk menahan semburan sinar matahari,
sehingga temperatur bumi turun beberapa derajad selama lebih
satu tahun setelah terjadi letusan. Masih banyak lagi contoh
pengalaman sejarah perubahan suhu, seperti meletusnya Gunung
El Chickon di Meksiko tahun 1982 yang abunya membentuk selimut
sehingga menghalangi semburan matahari ke bumi antara 5-10
persen. Naiknya suhu beberapa derajad di sisi timur wilayah
tropis dari Samudera Pasifik membuat turunnya hujan deras
dan badai di wilayah Pantai Amerika Selatan. Tapi baru sampai
di situ saja pengalaman sejarah perubahan suhu. Andai seluruh
permukaan bumi mengalami perubahan suhu, maka pola cuaca Bumi
akan semakin tidak jelas. Dan apa pun akibatnya, yang jelas
pola pertanian dunia akan terganggu. Gangguan itu akan mempengaruhi
pola perdagangan dan perekonomian dunia, bahkan pola politik
antarbangsa. Ancaman lain muncul akibat menipisnya lapisan
ozon di atmosfer oleh gas-gas yang dilepaskan pada pembuatan
karet busa, penggunaan alat pendingin dan aerosol. Hilangnya
ozon dalam jumlah besar dapat menimbulkan dampak yang mengerikan
terhadap kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya. Penemuan
adanya lubang pada lapisan ozon tahun 1986 di atas Antartika
menunjukkan adanya kemungkinan proses penipisan lapisan ozon
lebih cepat dari yang diduga sebelumnya. Bencana lain adalah
terjadinya hujan asam, debu, kabut, salju yang tidak normal,
karena pencemaran udara. Negara-negara di dunia tidak memberikan
sumbangan yang sama terhadap emisi entropogenik gas-gas rumah
kaca ke dalam atmosfer dan penipisan lapisan ozon serta pencemaran
udara. Negara industri di utara, adalah penyumbang terbesar.
Reaksi manusia sehubungan dengan perubahan suhu akan sangat
bergantung pada wilayah di mana mereka tinggal, tetapi akibat
dari penyebarannya berkaitan dengan tanggung jawab terjadinya
pernanasan global. Konsekuensi fisik seperti meningkatnya
permukaan laut, kekeringan, angin topan, dan perubahan siklus
hidrologi akan dialami baik oleh utara (negara industri) maupun
selatan (negara miskin dan berkembang). Namun sebenarnya posisi
utara dalam memikul tanggung jawab tersebut lebih besar. Mereka
berada pada posisi yang lebih baik untuk menginvestasikannya
dalam bentuk infrastruktur, inovasi teknologi dan kapasitas
teknik yang dibutuhkan.
***
KESULlTAN-kesulitan lingkungan yang dihadapi bukanlah baru,
meski baru belakangan dipahami kerumitannya. Kalau sebelumnya
perhatian tercurah pada dampak pembangunan terhadap lingkungan,
sekarang bagaimana kerusakan lingkungan itu dapat menghambat
atau membalik pertumbuhan ekonomi. Di banyak wilayah, kerusakan
lingkungan mengerosi potensi-potensi bagi pembangunan. Hubungan
dasar ini terungkap dan menjadi perhatian utama akibat krisis
lingkungan dan pembangunan pada tahun 1980-an. Menurunnya
pertumbuhan ekonomi dan stagnasi perdagangan dunia pada tahun
1980an menantang kemampuan semua bangsa untuk bereaksi dan
menyesuaikan diri. Negara berkembang yang menyandarkan diri
pada ekspor komoditi primer terpukul berat akibat jatuhnya
harga berbagai komoditi primer non minyak yang berlangsung
sejak tahun 1977. Antara tahun 1980 dan 1984, negara berkembang
kehilangan 55 milyar dari penerimaan ekspor mereka. Negara-negara
Amerika Latin dan Afrika merasakan pukulan berat akibat hal
ini. Sebagai konsekuensi dari lambatnya pertumbuhan ekonomi
dunia -- bersama-sama dengan meningkatnya kewajiban pengembalian
utang dan menurunnya arus dana masuk -- banyak negara berekembang
mengalami krisis ekononomi yang berat. Beban terberat dalam
penyesuaian ekonomi internasional itu ditanggung oleh orang-orang
terrmiskin di dunia. Banyak masalah ekonomi internasional
yang belum terpecahkan, seperti keterlibatan utang negara-negara
berkembang yang serius, pasar komoditi dan energi yang belum
stabil arus dana ke negara berkembang yang tidak mencukupi,
proteksionisme dan perang dagang. Yang pasti, hubungan utara-selatan
saat ini didasarkan pada ekploitasi berlebihan dan pembayaran
yang sangat minim dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia
sebagai buruh di selatan. Secara fundamental, penyebab utama
krisis lingkungan dan pembangunan adalah bentuk yang tidak
berkelan]utan dan tingkat produksi serta konsumsi di Utara
serta ekspor mereka ke Selatan. Dengan demikian, pendekatan
kritis dari pembangunan berkelanjutan adalah, bahwa isu lingkungan
berkaitan erat dengan isu pemerataan, keadilan sosial, hak
asazi manusia, dan pembangunan. Inilah problematik persoalan
yang dicoba urai dalam KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro,
Brasil, tanggal 3-14 Juni 1992. Meski beberapa kalangan meragukan
hasil KTT karena dominasinya peran negara maju yang menguasai
dana dan rendahnya posisi menawar negara berkembang, tapi
setidaknya harapan bagi satu tata dunia yang lebih adil, meski
samar, masih tetap ada.
back to top