MEREBUT AIR MEREBUT
KEHIDUPAN
"AIR harus diperlakukan sebagai
harta sosial dan budaya, bukan
semata-mata sebagai komoditas ekonomi."
- Komite PBB untuk Hak-hak Sosial, Budaya, dan Ekonomi
KEHIDUPAN di Bumi bergantung sepenuhnya
pada air. Dalam
perspektif etika lingkungan, air dengan segala manfaatnya bagi
kehidupan dari tingkat molekular hingga ekosistem, terlalu rendah
jika hanya mendapatkan nilai instrumental (instrumental value).
Air adalah kehidupan. Karena itu, seperti dikemukakan ahli etika
lingkungan dari Unika Soegijapranata Semarang Budi Widianarko,
setiap kehidupan memiliki intrinsic value sehingga air tidak
dapat dinilai apalagi dikelola sebagai sekadar "barang".
Setiap manusia membutuhkan sedikitnya 50 liter air untuk minum,
masak, encuci, untuk sanitasi dan untuk bertumbuhnya tanaman
pangan setiap hari. Namun, dalam penggunaan air juga terjadi
ketidakadilan luar biasa. Warga di AS rata- rata menggunakan
250-300 liter air setiap hari, sedang warga Somalia hanya bertumpu
pada sembilan liter air per hari. Di dalam suatu negara pun
terjadi ketidaksetaraan kenggunaan air bersih. Kelompok yang
memiliki posisi ekonomi lebih kuat memiliki akses yang lebih
besar kepada air bersih. ironisnya, kelompok ekonomi lebih lemah
harus mengeluarkan dana lebih besar untuk memenuhi kebutuhan
air bersih. Dalam World Social Forum (WSF) III di Porto Alegre,
Brasil, Sam Pablo dari Bolivia memaparkan situasi di Bolivia
setelah perusahaan internasional Bechtel mengambil alih pengelolaan
air di negeri itu. "Kaum miskin mengeluarkan 35 persen
dari penghasilannya untuk air. Yang lebih miskin lagi mengeluarkan
75 persen," ujarnya. Kelangkaan air menjadi isu besar di
dunia saat ini. Tak hanya karena pembagian air yang tak merata.
Juga bukan hanya karena kebutuhan air meningkat dua kali lipat
setiap 20 tahun yang mengakibatkan satu dari lima penduduk dunia
tak punya akses pada air bersih. Atau karena sumber air semakin
terkuras. Namun, terutama karena pencemaran air akibat kegiatan
manusia, termasuk proyek-proyek
besar pembangkit listrik tenaga air, polusi industri dan perkotaan,
penghancuran hutan, penggunaan pestisida, pembuangan limbah
dan pertambangan. Ekosistem global mengalami transformasi akibat
perubahan iklim dan penggurunan, yang merupakan dampak dari
ketersediaan air. Peneliti perencanaan kawasan Hendro Sangkoyo,
berkali-kali mengingatkan besarnya potensi konflik akibat perebutan
sumber daya air.
***
AIR adalah "blue gold", emas
biru yang kini jadi rebutan antara
rakyat di banyak negara dengan korporasi-korporasi transnasional
(TNCs) milik negara maju, seperti Vivensi Universal, Suez-Lyonnaise
des Eaux, RWE Group/Thames Water, Bechtel International Water,
Biwater, Enron/Asurix. "Kalau mereka menguasai air kita,
berarti
kehidupan kita pun mereka kuasai," ujar Sam Pablo. Privatisasi
sumber daya air di berbagai negara merupakan persoalan besar.
Meski manajemen air untuk kepentingan publik merupakan hal penting,
seperti dikemukakan ilmuwan dan aktivis Maude Barlow dari Kanada
dalam WSF III, sumber daya yang menguasai hajat hidup manusia
ini tidak bisa menjadi subyek kepemilikan untuk
diperdagangkan. Dalam perspektif etika lingkungan, menurut Budi
Widianarko, konsep "hak atas air" tidak dapat diterima.
Sebagai sesuatu yang menurut pengetahuan berasal dari hujan
kosmik yang telah berlangsung empat milyar tahun, maka air sangat
sulit diklaim sebagai "milik" siapa pun, termasuk
pemerintah, apalagi TNCs.
Sebenarnya, dalam komunitas tradisional-sebagai suatu pranata
yang jauh lebih tua dibandingkan lembaga negara- pola interaksi
yang khas antara manusia dengan air telah teruji oleh waktu.
Dengan demikian, sangat tidak etis kalau relasi alamiah antara
manusia dan air harus dirombak sebuah undang-undang.
Pandangan Budi Widianarko terasa sangat romantis kalau melihat
kenyataan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai "common resources"
atau sumber daya milik bersama pada zaman modern ini sering
kali tidak dikelola secara bersama, dan tanggung jawabnya juga
tidak dipikul secara bersamasama. Situasi ini yang membuka "lubang"
bagi rezim pengelolaan oleh pihak yang berkuasa.
"Rezim pengelolaan" tidak selalu buruk, kalau bisa
menjamin akses
yang adil kepada sumber daya air. Namun, seperti dikemukakan
Budi Wignyosukarto dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, persoalan menjadi serius kalau pengelolaan sumber
daya air lebih ditentukan nilai ekonomis sehingga cenderung
memberikan keuntungan pada kelompok ekonomi kuat. Sejak 10 tahun
lalu sebenarnya lembaga-lembaga keuangan dunia berkolaborasi
dengan TNCs telah membangun jalan untuk memuluskan privatisasi
sebagai kondisionalitas pemberian utang ke negara-negara berkembang.
Ini didukung perjanjian perdagangan yang mendesak negara pengutang
menderegulasi sektor air dan membukanya bagi investasi asing.
Ilmuwan di bidang lingkungan hidup dan perkotaan dari Unika
Soegijapranata Semarang, Wijanto Hadipuro- mengulang tahapan
liberalisasi yang dipaparkan oleh Lidy Nacpil dari Jubilee South-
Filipina dalam WSF III-mengingatkan, liberalisasi sektor publik
merupakan konsekuensi logis setelah liberalisasi modal, barang
dan jasa yang dilakukan secara bertahap mulai 1970-an. Perluasan
pasar dan pangsa pasar merupakan citacita para kapitalis monopolistik
agar bisa mempertahankan dominasinya. Seperti terungkap dalam
diskusi "Membedah Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air"
yang diselenggarakan oleh International NGO Forum for Indonesian
Development (Infid) dan Indonesian Forum on Globalization (Infog)
di Jakarta pekan lalu, klausul-klausul dalam berbagai rancangan
undangundang mengenai sumber daya alam seperti mirip satu sama
lain. Ada dugaan, Bank Dunia -yang setuju mengeluarkan pinjaman
khusus 300 juta dollar AS untuk mendanai program reformasi menyeluruh
di sektor air yang dikenal sebagai Water Resources Sector Adjustment
Loan (Watsal)-ikut campur tangan. Konspirasi antara lembagalembaga
keuangan internasional, TNCs, Organisasi perdagangan Internasional
(WTO) terjadi di mana-mana. Dalam perundingan internasional,
seperti World Summit on Sustainable
Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan 2002, kesepakatan
maksimum yang bisa dicapai dalam masalah sanitasi misalnya,
adalah privatisasi air. Banyak pihak terkesima dengan slogan
"Water for All", akan tetapi tidak menyadari bahwa
slogan itu berarti air direduksi menjadi sekadar kebutuhan,
dan TNCs sanggup memenuhi kebutuhan itu. Air bukan lagi merupakan
hak asasi manusia yang paling mendasar. Oleh Friends of the
Earth, organisasi nonpemerintah yang menentang liberalisasi
pasar masif, slogan itu diubah menjadi "Water Justice for
All", atau Keadilan bagi Rakyat untuk mendapatkan Air.
***
PRIVATISASI air, seperti dikemukakan
Nila Ardhanie dari Infog,
sangat berbahaya karena tujuan perusahaan swasta hanya mencari
keuntungan. Hak penguasaan air bisa dipindahtangankan, dijual
atau disewakan sehingga pemegang hak penguasaan air akan mengerucut
pada kelompok yang bermodal kuat. TNCs seperti Suez-Lyonnaise,
Thames, Biwater sudah merambah bisnis pengelolaan air di negara
berkembang. Di Indonesia sudah mulai
terjadi privatisasi PAM/ADAM. Suez- Lyonnaise dan Thames sudah
membelah PAM Jaya. Biwater mengelola air di Batam. Serangan
modal asing di bidang pengelolaan air ini patut dikhawatirkan.
Di Kolumbia misalnya, setelah sektor swasta menguasai pengelolaan
air, semua sumber air harus memiliki lisensi, termasuk sumur-sumur.
Bahkan petani harus membeli lisensi air agar bisa sekadar menampung
air hujan untuk tanah pertaniannya. Privatisasi juga menyuburkan
KKN. Investigasi jurnalistik yang dilakukan oleh The Center
for Public Integrity atas privatisasi air di Jakarta menemukan
keterlibatan anak mantan Presiden Soeharto dan
kroninya dalam bisnis ini. Cerita tentang privatisasi air di
Indonesia dimulai tahun 1991, ketika Bank Dunia menyetujui pinjaman
untuk keperluan peningkatan infrastruktur PAM Jaya sebesar 92
juta
dollar AS. "Untuk studi kelayakan saja, katanya, ada dana
sebesar Rp 200 juta," papar Wijanto Hadipuro mengenai upaya
penjajakan kemungkinan kerja sama PDAM Semarang dengan swasta
asing.
"Kami diminta melakukan studi kelayakan dengan dana Rp
100 juta,
tetapi kami harus mengaku menerima Rp 200 juta. Ini jelas kami
tolak. Kalau soal studi kelayakan saja sudah korupsi apalagi
lainnya." (mh)
back to
top