MAU APA KITA DI
HARI BUMI?
SABAN tahun Hari Bumi digelar. Tapi,
planet ini justru terus-
menerus dicemari, termasuk oleh Perang Irak. Apa yang bisa kita
lakukan?
SURAT John McConnell, sang pendiri Hari
Bumi, yang ditujukan ke
Sekretaris Jenderal PBB tertanggal 4 Februari 2001 seolah jadi
sia-
sia. Kepada yang terhormat Kofi Annan, ia menuliskan bahwa di
milenium baru adalah kesempatan besar untuk memulai hal baru.
Ia
tuliskan pula bahwa kesalahan di masa lampau adalah sebuah
pelajaran. "Sekarang saatnya untuk melakukan aksi dengan
cara mengisi
Hari Bumi dengan perdamaian, keadilan, dan menjaga lingkungan
kehidupan," begitu ia teruskan dalam suratnya.
Dulu, Sekjen PBB lama, U Thant pernah bilang, "Hari Bumi
adalah
sebuah momentum yang sangat penting untuk mengingatkan kita
bahwa
planet kita ini sangat kecil dan sangat rapuh."
Ungkapan U Thant ini juga John sertakan pada suratnya. Maksud
John adalah mengharapkan Kofi Annan untuk berdiskusi soal Hari
Bumi
yang digelar saban tahun pada 22 April. Entah apakah dua tahun
lalu,
Kofi Annan sempat bertemu John atau tidak.
Lewat Hari Bumi yang ia usulkan pada tahun 1970, John ingin
dunia
secara bersama untuk selalu berdamai, menjaga keadilan, dan
menjaga
bumi. "Marilah semua, baik secara perseorangan maupun berlembaga,
sekarang berpikir dan berbuat mewujudkan tanggung jawab kepada
bumi.
Bisa melakukan lewat kegiatan ekologi, ekonomi, atau etika yang
semuanya bertujuan membuat masa depan yang berkesinambungan.
Mengurangi polusi, kemiskinan, dan kejahatan," ujar John.
Namun, harapan John jadi sia-sia sewaktu bom dijatuhkan di Irak
pada 21 Maret. Kofi Annan yang pernah diajak untuk berdiskusi
membicarakan masalah lingkungan global oleh John dua tahun lalu
itu
pun tidak berdaya. Urusan politik, ekonomi, dan keamanan jauh
lebih
penting ketimbang masalah lingkungan hidup.
Perang Irak adalah fakta yang memperlihatkan betapa soal
lingkungan adalah bukan urusan penting. Lihatlah bagaimana limbah
perang yang berasal dari rudal, tumpahan minyak, dan banyak
lagi
sangat mencemaskan umat manusia. Perang Irak kali ini tentu
lebih
hebat ketimbang Perang Teluk 12 tahun silam. Sebagai perbandingan,
Perang Teluk yang berlangsung selama 42 hari menyisakan tumpahan
minyak sekitar 8 juta barrel atau sekitar 1,28 miliar liter.
Tumpahan
minyak mentah itu memanjang 560 kilometer dari Arab Saudi ke
Kuwait
alias sekitar separuh panjang Pulau Jawa. Ratusan spesies burung
terancam mati karenanya. Tak cuma itu, ekosistem pantai di kawasan
ini jelas rusak berat. Asap hitam hasil pembakaran sumur-sumur
minyak
yang mengandung racun pun menjadi bencana polusi besar. Penyebaran
asap tentu melebar hingga melewati kawasan lain.
Kejahatan lingkungan
"Bom-bom yang dijatuhkan merusak bumi. Lingkungan jadi
parah,
kering, dan tandus. Pohon-pohon mati akibat terbakar. Udara
tercemar," ujar Damara Andalia, siswi SMU Al Izhar Jakarta
menggambarkan.
"Bukan enggak mungkin perang sekarang akan meluas. Misalnya,
perang menggunakan senjata biologi dan kimia. Termasuk senjata
nuklir. Kalau sudah gitu, bumi enggak layak lagi ditempati,"
keluh
Pradit Teguh Wijonarko, siswa SMU 1 Depok.
Tak hanya rakyat biasa yang mencemaskan bumi akibat perang.
Ridha
Saleh S Sos, Deputi Direktur Eksekutif Walhi, bahkan bilang
invasi
Amerika dan sekutunya ke Irak layak dikategorikan sebagai kejahatan
terhadap lingkungan. "Banyak sumber daya alam Irak yang
rusak parah
akibat serangan ini. Mulai minyak bumi, situs purbakala, air
tanah
terkontaminasi limbah bom, dan udara yang tercampur mesiu,"
ujarnya.
Hari Bumi memang baru diperingati lima hari lagi. Perang Irak
menjadi bukti betapa kerusakan lingkungan semakin parah. Kita
diperlihatkan bagaimana kerusakan terjadi di sana-sini. "Biota
di
Sungai Eufrat dan Tigris rusak karena dijatuhi ribuan ton bom,"
kata
Pradit.
Tantangan generasi
Masalahnya, apakah kita yang disebut-sebut Gen Y (generasi Y)
oleh para pakar sosiologi barat cukup peduli dengan kerusakan
lingkungan meski telah diperlihatkan secara nyata seperti kasus
perang Irak? Apa pengaruhnya kerusakan lingkungan akibat perang
bagi
Gen Y yang oleh Nostradamus diramalkan mengalami penurunan moral?
Bagi teman-teman kita di Irak lebih jelas. Sudah barang tentu
sangat besar pengaruhnya. Mereka sangat cemas. Sekarang barangkali
takut menjadi korban akan perang. Setelah itu, mereka juga dicemaskan
dengan lingkungan yang sudah berantakan. Boleh jadi, mereka
pun tidak
bisa lagi melihat indahnya Sungai Eufrat dan Tigris yang rusak
seperti disebut Pradit tadi. Lihat saja, bagaimana Salam, seorang
teman dari Irak yang tak bisa menahan air mata.
Sementara bagi kita yang di sini pengaruhnya tentu tidak secara
langsung. Namun, jika kita mau bicara soal kerusakan lingkungan
secara global, sesungguhnya di sekitar kita pun telah terjadi
kerusakan dan pencemaran lingkungan meski tidak separah Irak
sekarang. Umpamanya, polusi udara akibat karbon monoksida yang
menyembur di jalanan. Sungai yang membelah kota pun tercemar
limbah.
Masih banyak lagi persoalan lingkungan yang kita hadapi. Mustinya
tingkat bahayanya pun nyaris serupa dengan teman-teman di Irak.
Sayangnya, kita sendiri juga sering tak peduli dengan
lingkungan. "Temen-temen gue masih banyak yang kurang peduli.
Misalnya, masih ada yang sering buang sampah sembarangan. Bikin
sebel
tuh!" kata Damara.
Padahal, Hari Bumi yang selau diperingati sebagai momentum untuk
mengingatkan kita akan kondisi bumi yang rapuh sudah banyak
diketahui
orang. Teman-teman Pradit misalnya. "Temen gue banyak yang
tahu, tapi
mereka cuek. Mereka belum sadar sepenuhnya Hari Bumi tuh apa.
Mereka
sibuk dengan kegiatannya sendiri," katanya.
Pendeknya, kita tak sadar bahwa bumi itu sebetulnya ringkih.
Sementara justru kitalah yang sekarang diwarisi oleh kondisi
lingkungan yang buruk. Kita seperti mendapat warisan berupa
sungai
dan laut yang cemar, hutan yang gundul, dan polutan yang beredar
di
mana-mana.
Generasi Y mau tak mau harus menerima bumi yang kian rapuh.
Apakah kita akan tinggal diam dan menikmati bumi dengan kondisi
keropos?
Tentu saja tidak. Berharap agar perang Irak segera diakhiri
agar
tak terus mengikis alam Irak, juga terlalu muluk. Peduli saja
sudah
bagus. Kalau mau beraksi, bisa dari lingkungan di sekitar kita.
Sebuah formula yang diajukan oleh John McConnell mengajak kita
untuk
menjaga bumi bisa kita jadikan sebagai rujukan.
Formula yang berisi lima hal itu antara lain berisi; komitmen
terhadap diri sendiri lewat doa dan refleksi, menjaga dan memelihara
kehidupan bumi beserta sumber daya alam, mendukung upaya penyelamatan
lingkungan rumah dan sekitarnya, bergabung dengan kelompok dalam
proyek bersama menjaga bumi sekaligus menjalin hubungan dengan
kelompok lain, katakan kepada teman tentang apa yang kita lakukan
agar mereka berbuat sama.
Formula ini tampaknya begitu umum. Namun, sesungguhnya kita
sebagai generasi Y bisa menerapkan dalam bentuk hal nyata.
"Gue akan mulai dari lingkungan gue sendiri. Kita di OSIS
akan
bikin gerakan kebersihan lingkungan. Juga kampanye kebersihan.
Lihat
tuh Singapura, bersih dan nyaman," seru Damaria.
"Gue pengin nyelesaiin makalah gue tentang pencemaran air
di rawa
yang terletak di sekitar sekolah gue, sehingga temen-temen bisa
tahu
pencemarannya seperti apa. Mereka bisa lebih hati-hati kalau
lewat
situ," janji Pradit.
Nah, siapa bilang generasi Y tak peduli lingkungan? Lewat Hari
Bumi kita pun ingin melakukan sesuatu. Ada yang tertarik mengikuti
upaya Damaria atau Pradit?
ADIT/RYO/YUNUS/ANDRA
Tim MUDA
back to
top